Pers Dibungkam, Demokrasi Sekarat: Karawang Menyalakan Sirine Perlawanan

Senin, 07 Juli 2025, Juli 07, 2025 WIB Last Updated 2025-07-07T13:34:40Z


Karawang, Online_datapublik.com
- Demokrasi Indonesia sedang di ujung tanduk. Pilar keempatnya, kebebasan pers, tak lagi sekadar terjepit, ia dicekik hidup-hidup oleh kekuasaan yang kian buta arah dan tuli terhadap kritik. Tanda-tanda kematian demokrasi tak lagi samar, dan di Karawang, lonceng perlawanan telah dibunyikan.


Senin (7/7/2025), Forum Jurnalis Karawang (FJK) bersama Aliansi Wartawan Karawang (AWAK) menggelar forum bertajuk “Diskusi Santai & Sehat: Pilar Ke-4 Demokrasi Tercampakkan, Arogansi Kekuasaan” di Lapak Ngopi, Karawang. Judulnya memang santai, tapi isinya adalah tamparan keras terhadap penguasa yang semakin gemar memberangus suara-suara kritis.


Namun ini bukan forum biasa. Ini adalah deklarasi perang moral, sebuah panggilan terbuka kepada seluruh penjaga nurani bangsa: demokrasi sedang diseret menuju kuburnya.


Pangkal Api: Seruan Gubernur Dedi Mulyadi yang Meledakkan Bara


Forum ini adalah respons langsung atas pernyataan kontroversial Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang secara terang-terangan mengajak masyarakat dan pejabat untuk mengabaikan media massa dan lebih memilih media sosial pribadi sebagai saluran informasi.


Langkah ini dinilai sebagai penghinaan terhadap profesi wartawan, dan lebih jauh lagi, sebagai upaya sistematis mematikan fungsi pers sebagai pengawal demokrasi. Bagi jurnalis Karawang, itu adalah pelanggaran fatal.


Spanduk yang membentang di lokasi menyampaikan pesan yang mengguncang: “Media bukan buzzer, media adalah penjaga kebenaran.” Bukan sekadar slogan, tapi jeritan dari ruang redaksi yang terlalu lama dicekik dan dipaksa diam.


Tiga Luka Demokrasi yang Terbuka Lebar


Diskusi ini menelanjangi tiga fakta brutal yang mencabik tubuh demokrasi hari ini:


1. Kriminalisasi terhadap jurnalis yang terus meningkat

2. Kooptasi media oleh kekuatan oligarki

3. Menyempitnya ruang berekspresi dan kritik publik


Dalam forum ini, MR. KiM tampil sebagai suara terdepan. Tegas, lantang, dan tanpa tedeng aling-aling, ia berkata: “Pers bukan musuh pemerintah. Justru pers adalah benteng terakhir demokrasi. Karawang boikot pemberitaan KDM!”


Ini bukan seruan emosional. Ini adalah tindakan nyata dari komunitas pers yang muak dicap sebagai pengganggu hanya karena menjalankan fungsi kontrol.


IWO Karawang: Media Sosial Bukan Pengganti Wartawan


Ketua IWO Karawang, Syuhada Wisastra, juga menyampaikan sikap yang tajam. Ia menyebut pernyataan Dedi Mulyadi bukan sekadar blunder, tapi pengingkaran telanjang terhadap demokrasi.


“Kalau media dianggap tak perlu, lalu siapa yang akan menjadi pengawas kekuasaan? Siapa yang akan menyuarakan keluh rakyat dari pelosok yang tak tersentuh?” tegasnya.


Ia menolak narasi menyesatkan bahwa media sosial bisa menggantikan jurnalisme profesional: “Media sosial tak punya verifikasi, tak punya kode etik, dan bebas dari tanggung jawab. Wartawan bekerja dengan akurasi, bukan asumsi!”


Pesan Penutup: Antara Hormat atau Rezim Ilusi


Forum ini ditutup dengan pernyataan keras, bukan hanya sebagai penutup diskusi, tapi sebagai alarm nasional: “Kami tidak akan tinggal diam ketika demokrasi dibunuh perlahan. Pers bukan musuh. Pers adalah pagar terakhir sebelum bangsa ini jatuh ke jurang tirani.”


Syuhada memberi penekanan terakhir dengan ultimatum moral: “Hormati pers, maka demokrasi akan bernapas. Abaikan pers, maka yang lahir adalah rezim ilusi, tempat kritik dianggap makar dan kebenaran dibungkus propaganda.”


Karawang Menyalakan Obor: Jika Pers Dibungkam, Rakyat Akan Bicara


Karawang telah memberi sinyal terang: jika suara jurnalis dipadamkan, maka suara rakyat akan bergemuruh lebih keras. Karena ketika berita dibungkam, yang padam bukan sekadar narasi, tapi cahaya akal sehat bangsa ini.


Penulis: Alim

Komentar

Tampilkan

Terkini